By Erianto Anas in Ateis Minangkabau

“Jika menjadi umat Islam jadilah Islam yang Kaffah”

Itulah slogan yang sudah saya dengar sejak kecil.

Dan saya pun menyukai kata-kata itu. Karena memang saya begitu ingin menjadi seorang muslim yang kaffah. Total tanpa cacat barang seincipun. Setidaknya itulah cita-cita saya dalam berislam.

Lalu bagaimana cara melakukannya?

Saya dinasehati melalui banyak kotbah dan buku-buku agama yang saya baca.

Bahwa untuk menjadi Islam kaffah, kuncinya adalah mengamalkan apa yang diperintahkan dalam Aqluran, dengan meniru sepersis mungkin apa yang dilakukan Nabi Muhammad, para sahabat, para tabiin dan tabi-tabiin. Karena semakin persis sikap, prilaku dan kebiasaan dengan ketiga generasi awal Islam itulah maka keislaman saya akan dianggap sebagai Islam kaffah. Karena sebaik-baik umat, adalah semakin dekat ke zaman Rasulullah. Dan sebaliknya, semakin jauh dari zaman itu maka semakin kurang baik, apalagi umat manusia yang mendapati hari kiamat.

Secara garis besar, itulah kunci ajaran salafi yang saya pahami. Ajaran ahlul sunnah wal jamaah. Kelompok yang mengklaim dirinya sebagai kaum yang satu, kaum yang megklaim kelompoknya yang benar dari 72 golongan (aliran) yang berpecah belah dalam tubuh Islam.

Lalu benarkah hal itu saya lakukan?

Tentu saja. Karena saya begitu mencintai Islam. Begitu ingin mencapai Islam yang kaffah. Saking cintanya, sempat saya berangan-angan ingin hidup di lingkungan yang Islami. Hanya berdampingan dengan umat Islam yang taat. Rajin ke mesjid. Rajin ibadah. Puasa sunat. Hidup sederhana. Zuhud. Bila perlu uzlah. Singkatnya, dalam imajinasi saya, saya menduplikasi diri bak Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Ali Bin Abi Talib, Umar bin Abdul Aziz dan seterusnya. Singkatnya, dalam benak saya, seakan saya tidak menapak di bumi Indonesia. Tapi terbang ke zaman Rasulullah 14 Abad yang lampau di Mekkah dan Madinah. Hadir bersama para sahabat kemana pun baginda Nabi berada. Mendengarkan sabdanya, menatap wajahnya.

Bahkan sempat saya ingin berhenti kuliah, menutup diri dari selain kehidupan yang Islami. Hidup dalam cahaya Islam di kota santri. Bahkan begitu ingin saya pergi ke Mekkah. Ke jantung kota Islam dunia. Tapi saya tidak punya uang. Saya hanya seorang mahasiswa. Akibatnya, semua itu hanya tinggal impian. Tinggal rintihan sunyi, dalam rindu disetiap hening sujud di sajadah. Ditangis malam dihadapan Alquran basah air mata.

Tapi matahari terus bergulir.

Hingga sampailah saya pada hari ini.

Slogan Islam kaffah masih saya dengar dimana-mana.

Tapi bagaimana dengan saya. Masihkah saya ingin menjadi Islam kaffah?

Jawaban saya: TIDAK! Saya sudah tobat dari Islam kaffah.

Kenapa?

Karena Islam kaffah akhirnya saya sadari adalah Islam yang paling primitif.

Karena Islam kaffah artinya adalah menjadi Arabisme.

Salin dan telan mentah semua budaya Arab.

Dan jilat semua apa yang diperintahkan Alquran, dengan segala ayat-ayat dongeng dan seruan primitifnya untuk membenci umat lain selain Islam, menggorok leher kaum kafir, paling tidak membenci mereka dalam hati, dan entah apalagi, maka itulah Islam kaffah. Dan saya benar-benar sudah tobat dari semua itu.

Saya sudah resmi menjadi kafir dari Islam kaffah.

Saya murtad dari Islam Kaffah menuju Erianto Anas Kaffah.

Dengan kata lain, saya sudah berhenti menduplikasi diri pada Muhammad, pada para sahabat, pada para Imam mazhab, pada cerita-cerita dalam Alquran. Saya sudah pulang ke kampung halaman. Kampung halaman yang sudah begitu lama saya cari-cari sebelumnya. Dalam kegelisahan pencarian yang tak pernah bisa saya mengerti. Tapi akhirnya saya temukan akhir pencarian itu di titik awal. Di dalam diri sendiri.