Bolshevisme menggabungkan karakteristik dari Revolusi Perancis dengan kebangkitan Islam. Marx mengajarkan bahwa takdir datangnya Komunisme tidak bisa dibendung; ini menghasilkan pemikiran yg tidak berbeda dari penerus2 awal Muhammad.

Diantara agama2 yang ada, Bolshevisme lebih dianggap sebagai Muhammadanisme dibanding Kristen dan Buddhisme. Kristen dan Buddhisme terutama adalah agama pribadi dengan doktrin2 mistik dan kecintaan pada pemikiran. Muhammadanisme dan Bolshevisme bersifat praktis, sosial, tidak spiritual & lebih mementingkan memenangkan kekuasaan didunia ini. -Bertrand Russell[1]

Mungkin Charles Watson yg pertama ditahun 1937 menggambarkan islam sebagai TOTALITER dan sekaligus menunjukkan bagaimana “dengan jutaan akar menembus setiap fase kehidupan, semuanya dengan arti religius, mampu menguasai kehidupan orang2 muslim.” Bousquet, salah seorang otoritas terkemuka hukum Islam, membedakan dua aspek islam yang dianggapnya totaliter: Hukum Islam dan Jihad Islam yang tujuan akhirnya adalah penaklukan seluruh dunia agar tunduk pada satu otoritas. Kita akan membahas Jihad pada bab berikutnya; disini kita batasi pada hukum islam.

Hukum Islam bertujuan utk “mengontrol kehidupan religius, sosial dan politis umat manusia dalam segala aspeknya, kehidupan para pengikutnya tanpa kecuali dan kehidupan mereka yg mengikuti agama2 yang ditolerir sedemikian rupa sampai dapat mencegah agama lain tsb utk merusak Islam dengan cara apapun.”[2] Sikap menyeluruh hukum islam ini nampak dari fakta bahwa Islam tidak membedakan antara ritual, hukum (dalam arti Barat), etika dan kesopanan. Pada prinsipnya, aturan ini mengatur seluruh kehidupan pengikut. Islam memaksakan diri masuk dalam setiap sudut dan celah. Contoh, mulai dari pajak ziarah, kontrak agrikultur, penjualan budak, undangan perkawinan, cara memakai tusuk gigi, ritual berbusana, larangan laki2 memakai emas atau cincin perak hingga bgm memperlakukan binatang, semuanya diatur Islam.

Hukum Islam adalah sebuah doktrin kewajiban – kewajiban2 eksternal – yaitu, kewajiban2 “yang rentan dikontrol oleh sebuah otoritas manusia yg diinstitusikan oleh Tuhan. Namun, kewajiban2 ini tanpa kecuali juga merupakan kewajiban pada Tuhan dan didasarkan pada kehendak Tuhan itu sendiri. Semua kewajiban yang wajib dilakukan manusia, dan dalam hubungannya dengan siapapun, diatur oleh Islam.”[3]

Sebelum menelaah hukum islam secara rinci, kita perlu tahu kenapa Islam berkembang secara demikian.

Tidak ada pemisahan Negara dan Agama[4]

Yesus Kristus sendiri menjabarkan sebuah prinsip fundamental bagi pemikiran Kristen: “Berikan pada Kaisar apa yang [merupakan] milik Kaisar dan pada Tuhan apa yang [merupakan] milik Tuhan” (Matius 22.17). Kedua otoritas ini, Tuhan dan Kaisar, memiliki urusan dan masalah berbeda dan masing2 mengatur kerajaan yang berbeda pula; masing2 punya hukum dan institusinya tersendiri.

Pemisahan antara agama dan negara NON-EKSIS dalam islam, dan faktanya memang tidak ada kata2 bahasa arab klasik utk membedakan antara urusan awam dan keagamaan, urusan sakral dan manusia, spiritual dan temporal. Sekali lagi, kita harus melihat pada pendiri islam utk mengerti kenapa tidak pernah ada pemisahan antara negara dan agama. Muhammad bukan saja menganggap diri seorang nabi tapi juga seorang negarawan; dia bukan hanya mendirikan sebuah komunitas tapi juga mendirikan sebuah negara dan masyarakat. Dia adalah seorang pemimpin militer, perang dan damai, pemberi hukum, dan pemutus keadilan. Sejak awal, Muslim membentuk sebuah komunitas yang religius sekaligus politis, dengan sang nabi sendiri sebagai kepala negaranya. Kemenangan spektakular para muslim awal membuktikan pada mereka bahwa Tuhan ada dipihak mereka. Jadi dari awal mulanya eksistensi islam, tidak ada pertanyaan tentang pemisahan antara sejarah religius dan sejarah sekuler, antara kekuasaan politis dan agama, tidak seperti Kristen yang harus menerima penganiayaan selama 3 abad sebelum agama tsb diadopsi oleh seorang Kaisar Romawi.

Hukum Islam

Syariah atau hukum islam didasarkan atas EMPAT prinsip atau sumber hukum islam (dalam bahasa arab “usul”, jamaknya “asl”):
Quran;
Sunnah Nabi yang tercatat dalam hadis ;
Ijtihad yang terdiri atas Ijma, yaitu kesepakatan dari para ulama; dan
Qiyas, metode pemikiran lewat analogi;
[Maslahah Mursalah, utk kemaslahatan umat dan ‘Urf, kebiasaan.] Biasanya yang sering disebut adalah Quran, Hadis, Ijma dan Qiyas.

Quran
Quran, spt kita tahu, bagi muslim adalah perkataan/firman Tuhan itu sendiri. Meski didalamnya ada aturan dan undang2 bagi komunitas2 awal dalam hal2 seperti perkawinan, perceraian dan warisan, Quran tidak menetapkan prinsip2 umum lainnya. Banyak masalah diselesaikan dengan cara membingungkan dan asal-asalan dan sejumlah besar pertanyaan2 vital malah tidak disinggung sama sekali.

Sunnah
Sunnah (arti harafiahnya: garis; jalan; cara hidup) mengungkapkan kebiasaan atau adat kehidupan muslimin yg didasarkan pada sikap, ucapan dan perbuatan sang nabi, dan semua sikap, ucapan dan perbuatan sang nabi yg dilakukan dihadapan para periwayat hadis, bahkan juga apa yang dilarang olehnya. Narasi atau informasi yang disampaikan oleh para sahabat tentang sikap, tindakan, ucapan dan cara Rasulullah disebut sebagai hadits/hadis. Sunnah yang dilaksanakan oleh Allah disebut Sunnatullah. Sunnah dicatat dalam hadis, tapi belakangan kita ketahui bahwa kebanyakan hadis ini adalah karangan belaka. Meski demikian, bagi muslim sunnah itu melengkapi Quran dan penting utk mengerti Quran dengan benar, utk menjelaskan kesamaran Quran dan mengisi hal2 yang tidak dibahas oleh Quran. Tanpa Sunnah, muslim seperti orang tersesat karena tidak ada perincian yang diperlukan bagi hidup sehari2 mereka.

Quran dan Sunnah adalah penjabaran perintah Tuhan, kehendak Allah yg pasti dan tak boleh diperiksa, yang harus dipatuhi secara mutlak, tanpa ragu, tanpa tanya dan tanpa kecuali. (well kecuali bagi sang nabi dong, penerjemah).

Tapi dengan begitu banyak ketidakjelasan dlm Quran, kita perlu semacam penafsiran dari Sunnah dan Quran, dan ini adalah tugas dari ahli hukum yang disebut Fiqih (sainsnya syariah). Mereka menetapkan banyak sekali penafsiran, empat diantaranya bertahan hingga abad ini dan masih diikuti oleh seluruh populasi islam sunni, ortodoks dan aliran lainnya. Anehnya, keempat-empatnya dianggap sama valid/sah, meski secara mendasar agak berbeda.

1. Malik Ibn Abbas (wafat 795M) mengembangkan gagasannya di Medinah, ia dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi yang tersisa. Doktrinnya dicatat dalam karyanya, MUWATTA, yang diadopsi oleh kebanyakan muslim di afrika dengan perkecualian Mesir Bawah, Zanzibar dan Afrika Selatan.

2. Abu Hanifa (w.767), pendiri dari sekolah Hanifi, lahir di Irak. Alirannya disebut lebih terjangkau dalam hal akal dan logika dibanding aliran2 lain. Para Muslim India dan Turki banyak bersekolah disini.

3. Al-Shafi’I (w.820), dianggap moderat dalam alirannya diterima di Irak & Mesir. Pengikut sekolah ini dikenal di Indonesia, Mesir Bawah, Malaysia dan Yaman. Dia menempatkan penekanan besar pada Sunnah Nabi. spt yg diwujudkan dlm hadis, sbg sumber dari Syariah.

4. Ahmad Ibn Hanbali (w.855) lahir di Baghdad. Dia mengikuti aliran al-Shafi’I, yg juga mengajarnya dalam hal hadis. Meski dianiaya, ibn Hanbali tetap berpegang pada doktrin bahwa Quran itu tidak diciptakan/uncreated, tapi sudah ada dari awal jaman. Kaum Wahhabi modern dari Arab Saudi mengikuti ajaran2 dari Ibn Hanbali.

Ketika macam2 aliran diatas itu dikritik karena memperkenalkan inovasi2 tanpa pembenaran, mengadaptasi hukum2 religius agar sesuai dengan kepentingan dunia sesaat dan karena mentolerir penyalahgunaan kekuasaan, para doktor hukum terpelajar mengembangkan doktrin ‘ijma/mufakat tanpa salah’, yang menjadi fondasi ketiga dari hukum islam atau Syariah.

IJMA (Mufakat)
Ungkapan “Komunitasku tidak akan pernah menyetujui sebuah kesalahan” dianggap berasal dari sang nabi dan berakibat munculnya sebuah lembaga ‘tanpa salah’ yg terdiri dari komunitas para ilmuwan terkenal. Seperti dikatakan Hurgronje, “Ini adalah imbangan dari doktrin Katolik dg tradisi eklesiastiknya: ‘quod semper, quod ubique, quod ab omnibus creditum est.’ (yang dipercaya dimana-mana, setiap saat, oleh semua orang).” Ijma ini tidak bersifat demokratis sama sekali karena sama sekali tidak mengikutkan massa. Mufakat yang diperhatikan hanya dg mereka yang dianggap memenuhi syarat dan dg otoritas terpelajar.

Tapi, tetap masih ada perselisihan mengenai permufakatan siapa yang bisa diterima; ada yang hanya menerima mufakat dari sahabat nabi saja, sementara yang lain menerima hanya mufakat dari keturunan nabi saja, dan seterusnya.

Doktrin ‘mufakat tanpa salah’ para ahli ini, bukannya memberikan kebebasan berakal, melainkan “cenderung bekerja pada pengerasan dan penyempitan doktrin itu sendiri; dan belakangan doktrin ini menyangkal kemungkinan ‘pemakaian akal yang mandiri’ yg meresmikan hal2 yg kemudian menjadi fakta.”[5]

Di awal 900M, hukum islam telah menjadi kaku dan tidak fleksibel karena, dengan mengutip Schacht:

Tercapai sebuah titik dimana para ahli dari semua aliran merasa bahwa semua pertanyaan penting telah secara teliti didiskusikan dan diselesaikan, dan secara perlahan2 muncullah sebuah permufakatan
bahwa : sejak saat itu hingga waktu kedepan, tak seorangpun dianggap memenuhi syarat utk memikirkan lagi kemungkinan2 lain dari hukum2 tsb, dan bahwa semua aktivitas masa depan hanya akan dibatasi pada penjelasan, aplikasi dan tafsir doktrin yang sudah dijabarkan untuk selama2nya.[ 6]

Penutupan pintu pemikiran ini berefek pada penerimaan doktrin yang sudah mereka tetapkan tanpa banyak tanya lagi. Padahal Hukum islam sebelum itu masih bisa beradaptasi dan berkembang. Tapi setelah titik penutupan ijtihad itu, Hukum Islam menjadi :

semakin kaku dan mencapai bentuk finalnya. Kekakuan esensi hukum islam ini mempertahankan kestabilan dlm abad2 ketika terjadi kebobrokan dari institusi2 politik islam. Meski tidak juga kekal, tapi perubahan yang terjadi lebih banyak berurusan dgn teori legal dan struktur2 sistematis ketimbang dgn hukum2 positif. Secara keseluruhan, hukum islam adalah refleksi dan sesuai dgn kondisi sosial dan ekonomis pada awal perioda Kalifah Abbasid, tapi kemudian semakin ketinggalan dgn perkembangan negara dan masyarakat.[7]

Kiyas
Kiyas atau analogical reasoning (pemikiran analogis) dianggap oleh banyak ahli islam sbg tingkatan yang lebih rendah, dan jauh dibawah ketiga prinsip hukum islam lainnya. Pencakupan kiyas mungkin adalah kompromi antara kebebasan pendapat yang tidak terbatas dan penolakan akan semua pendapat akal manusia dalam hukum religius.

Sifat Hukum Islam

1. semua tindakan dan hubungan manusia dinilai dari sudut pandang konsep wajib (harus dilakukan utk mendatangkan pahala, jika tidak dilakukan maka dosa), sunnah (dianjurkan karena bisa mendatangkan pahala, tapi jika tidak dilakukan tidak mendapat dosa), mubah (dianjurkan, tapi tidak mendatangkan pahala atau dosa), Makruh (tercela, sebaiknya jangan dilakukan tapi jika dilakukan tidak mendatangkan dosa) dan Haram (dilarang keras). Hukum islam adalah bagian dari sebuah sistem kewajiban religius, digabung dengan elemen2 non legal.[8]

2. Sisi irasional hukum islam datang dari dua prinsip utamanya, yaitu Quran dan Sunnah, yang merupakan ungkapan dari perintah Tuhan, yi bahwa hukum2nya sah hanya karena keberadaan hukum itu belaka dan bukan karena rasionalitasnya. Sisi irasionalitas hukum islam juga menuntut kepatuhan sampai ketitik-komanya dan bukan pada semangatnya; dalam sejarah ini mengakibatkan diterimanya alat2 hukum fiktif. Contoh, Quran dengan jelas melarang pengambilan bunga uang (riba), dan dengan mengutip Schacht:

Larangan religius ini cukup kuat sampai membuat masyarakat luas enggan melanggarnya secara langsung dan terbuka, tapi disaat yang sama ada tuntutan kuat utk mendapatkan/ memberi bunga dalam kehidupan komersil sekarang ini.

Untuk memuaskan kebutuhan ini, dan sekaligus mematuhi larangan religius tersebut, dikembangkanlah sejumlah muslihat. Salah satunya yaitu dengan memberikan harta milik sebagai jaminan hutang dan mengijinkan sang Kreditor utk memakainya, jadi dengan kata lain, pemanfaatan harta itu sama dgn pembayaran bunga …

… yang lainnya adalah penjualan ganda. Contohnya, (calon) Debitor menjual pada Kreditor seorang budak, dan si Debitor saat itu juga membelinya kembali dari sang Kreditor dengan harga yg lebih mahal yg dijanjikan utk dibayar dikemudian hari. Jadi, ini sama saja dgn sebuah pinjaman dgn si budak sbg jamnan, dan perbedaan kedua harga itu dianggap sbg bunga.[9]

Bagaimana kita menamakan praktek2 diatas? Alat hukum fiktif yang disahkan adalah penamaan yang terlalu lunak. Penghindaran moral? Kemunafikan moral? Ketidakjujuran moral?

3. Meski hukum islam dianggap hukum sakral, esensinya tidak selalu irasional; hukum Islam tidak diciptakan oleh sebuah proses pewahyuan yg irasional … tapi oleh sebuah metoda penafsiran rasional. Oleh karena itu hukum Islam memperoleh eksterior yg nampak intelektual dan ilmiah. TAPI walau hukum islam mewujudkan dirinya sebagai sebuah sistem yang rasional dengan perhitungan material, karakter formal juridisnya tidak banyak berkembang. Tujuannya adalah utk menyediakan material yg standar dan konkrit, dan bukan utk memaksakan aturan2 formal yang tergantung atas kepentingan2 kelompok2 tertentu (yg menjadi tujuan dari hukum sekular). Ini menghasilkan pertimbangan bahwa tujuan baik, keadilan, kejujuran, kebenaran dll hanya memainkan peran lebih rendah dari sistem itu sendiri.[10]

4. Berbeda dgn hukum Romawi, hukum islam membawa subjek legal kedalam sistemnya dengan metoda analogi/persamaan, parataxis dan asosiasi. Yang bertalian dekat dengan metoda ini adalah cara berpikir kasuistis, yang menjadi satu dari aspek menggemparkan dari hukum tradisional islam.

“Hukum islam tidak berfokus pada elemen hukum yang relevan dari tiap kasus dan memasukkannya kedalam aturan umum, namun lebih pada pembentukan serangkaian kasus menurut derajadnya.”[11] Contoh, mengenai warisan; hk Islam mendiskusikan kasus pewarisan dari seorang individu kpd pewarisnya, yi ke 32 orang kakek buyutnya; hak waris dari manusia yg memiliki dua kelamin alias hermaphrodite (karena dua jenis seks tidak punya hak yang sama); warisan kpd individu yang diubah menjadi binatang; dan khususnya, warisan dari individu tsb jika hanya setengahnya dari dirinya saja diubah, baik secara horizontal maupun vertikal. Shocked

Dengan demikian, semangat kasuistik (orang yang punya otak tapi salah memakainya), serta sifat suka menonjolkan keilmuan dirinya lebih muncul. Seperti yang dikatakan Goldziher[12] :

Tugas menafsirkan firman Allah dan mengatur kehidupan agar selaras dengan firman Tuhan menjadi hilang dalam kekonyolan dan exegesis membosankan: dalam memikirkan kemungkinan yang tidak pernah muncul dan memperdebatkan pertanyaan2 mirip teka-teki dimana cara berpikir sesat yang ekstrim serta tindakan yang berlebihan digabungkan dengan khayalan yang berani dan gegabah. Orang berdebat kasus2 hukum yang sulit dijangkau, yg jauh dari dunia nyata …

Takhyul umum juga mewarnai pemikiran para ahli hukum. Contoh… karena jin seringkali mewujud dlm bentuk manusia, para ahli hukum membahas konsekwensi perwujudan jin demikian dalam hukum2 religius; argumentasi serius sering dipaksakan, misalnya, apakah jin2 tsb boleh dihiting sbg partisipan yg dipersyaratkan bagi solat Jum’at.

Contoh lain ; bagaimana berurusan dengan anak-anak hasil perkawinan manusia dengan jin berbentuk manusia ? … Apa akibatnya dalam hukum keluarga utk perkawinan demikian? Malah perkawinan dengan jin sampai dianggap sedemikian serius seakan sama pentingnya dengan hukum2 religius penting lainnya.

5. Didalam hukum pidana, hukum islam membedakan hak dari Tuhan dengan hak dari Manusia.

Hanya hak Tuhan yang punya karakter hukum pidana yang benar, yg pantas menentukan sangsi pidana pada yg bersalah. … Hukum pidana diambil secara eksklusif dari Quran dan hadis, yang katanya adalah laporan2 tentang perkataan dan tindakan dari sang nabi serta para sahabat.

Divisi terbesar kedua dari apa yang kita sebut hukum pidana masuk dalam kategori “hukum ganti rugi” [i](redress of torts) sebuah kategori hukum yang mencakup baik hukum perdata maupun pidana dimana hukum islam mengambilnya dari hukum2 Arab masa pra-islam, yg kuno tapi tidak unik. Apapun kompensasi yg ingin dituntut, baik itu pembalasan atau uang darah, ini tergantung dari tuntutan perdata, atau hak manusia. Jadi, sebuah tanggung jawab atas tindak pidana pada prakteknya dianggap tidak ada [kecuali korban/si penuntut menuntut ganti rugi]. Kalaupun tanggung jawab atas tindak pidana itu eksis, itu adalah karena merupakan sebuah kewajiban religius.

Jadi tidak ada hukuman tetap atas pelanggaran diri, hak atau harta manusia manusia. Yg ada hanya ganti rugi dari kerusakan yang disebabkan si tertuduh. Ini berakibat pada pembalasan dendam dgn cara pembunuhan dan penganiayaan tanpa tanggung jawab ganti rugi.[13]

Ringkasnya, syariah adalah kumpulan hukum2 teoritis bagi sebuah komunitas muslim yang ideal yang menyerah diri pada kehendak Tuhan. Ini semua didasarkan pada otoritas ilahi yang harus diterima tanpa kritik. Hukum islam dg demikian bukanlah produk dari otak manusia, dan tidak menggambarkan realitas sosial yang berkembang dan selalu berubah (seperti hukum Eropa).

Hukum islam itu abadi, dan fiqih [sainsnya syariah] terdiri dari tafsir teks2 keramat yang tak mungkin salah dan definitif. Tak mungkin salah karena sekelompok ahli hukum islam telah diberi kuasa utk menarik kesimpulan otoritatif dari Quran dan Sunnah; dan definitif karena setelah tiga abad, semua solusi utk masalah yang ada ‘katanya’ sudah diberikan.

Sementara hukum Eropa itu manusiawi dan berubah, syariah itu ilahi dan abadi. Syariah tergantung dari kehendak Allah yang tak bisa diduga, yang tak dapat digenggam oleh kepandaian manusia. – harus diterima tanpa ragu dan jangan dipertanyakan.

Karya ahli2 hukum islam terkenal dari syariah ini hanyalah merupakan aplikasi sederhana dari firman Allah atau nabinya: hanya dgn penjabaran dlm batas yang sempit yang ditetapkan oleh Allah sendiri, orang bisa berpikir dgn cara qiyas (berpikir secara analogis). Keputusan kaum terpelajar yang mempunyai kekuatan hukum, juga bersandar pada komunitas yang katanya ‘tak mungkin salah’, sebuah komunitas yang Tuhan ciptakan lewat Muhammad, komunitas ini disebut ‘tanpa salah’ karena diatur oleh hukum yang ‘tanpa salah’. [Bousquet, Hurgronje, Schacht]

KRITIK terhadap Hukum Islam
1. Dua sumber islam adalah Quran dan Sunnah yang tercatat dalam hadis.
Pertama, kita sudah beri alasan kenapa Quran tidak bisa kita anggap berasal dari Tuhan – yaitu karena disusun sekitar abad 7 dan 9 M, penuh contekan dari talmud Yudaisme, dari kitab2 apokripanya (apokripa= kitab yg diragukan) Kristen, Samaritan, Zoroastrianisme dan Arab pra-islam. Juga berisi anakronisme (salah waktu) dan kesalahan sejarah, kesalahan sains, kontradiksi, kesalahan tata bahasa, dll.

Kedua, doktrin didalamnya membingungkan dan bertentangan serta tidak pantas jika disebutkan berasal dari Tuhan yang maha Pemurah. Tidak ada bukti2 apapun ttg keberadaan Allah didalamnya. Memang Quran juga berisi prinsip2 moralnya spt kedermawanan, hormat pada orang tua dll yg sebenarnya sudah ada jauh sebelum Islam eksis. LAGIPULA prinsip2 moral ini semua tenggelam oleh prinsip2 yang tidak layak seperti: kebencian pada kaum berhala, perintah kekerasan dan pembunuhan, tidak adanya kesetaraan bagi wanita dan non-muslim, diakuinya perbudakan, hukuman barbar dan kebencian terhdp akal manusia.

2. Goldziher, Schacht serta yang lainnya telah dengan meyakinkan menunjukkan bahwa kebanyakan – mungkin semua – dari hadis2 itu palsu/dikarang- karang belaka yang disebarkan diabad awal ketika muslim muncul sesudah kematian Muhammad. Jika fakta ini kita terima, maka seluruh fondasi dari hukum islam sungguh sangat goyah. Keseluruhan hukum islam adalah ciptaan yang didasarkan pada penipuan dan karya fiksi para pengikutnya. Dan karena hukum islam dipandang oleh banyak muslim sebagai “Lambang dari pemikiran islam, perwujudan paling khas dari gaya hidup islam, inti dan pusat dari islam itu sendiri,” akibatnya kesimpulan dari Goldziher dan Schacht bisa dikatakan sangat menghancurkan.

3. Kekuatan Ulama:
Bahwa ada kehendak Tuhan, sekali dan utk selama2nya, mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia; bahwa nilai sebuah bangsa atau individu akan ditimbang menurut seberapa banyak atau sedikit kehendak Tuhan itu diikuti: bahwa kehendak Tuhan mewujud dalam takdir bangsa atau individu sebagai faktor pengatur utama, yaitu, menghukum dan memberi pahala sesuai tingkat kepatuhannya… Lebih jauh lagi: ‘Kehendak tuhan’ (baca: kondisi utk mempertahankan kekuasaan ulama2) harus dikenali: sampai saat sebuah ‘wahyu’ berupa sunnah/hadis perlu diturunkan. Dengan kata lain: pemalsuan aturan2 menjadi suatu kebutuhan, ‘ayat2 suci’ ditemukan sesuai kebutuhan, diumumkan pada publik dengan segala kemegahannya… dengan cara keras dan penuh keilmuan, para ulama memformulasikan apa yang Ia inginkan, yaitu ‘apa kehendak tuhan itu sebenarnya.’ Mulai sekarang segala sesuatu dalam hidup sudah ditentukan secara pasti shg para ulama tidak bisa begitu saja dihiraukan.[ 14]

Para pembela Muslim dan orang muslim itu sendiri selalu mengklaim bahwa tidak ada hirarki ulama dalam islam; tapi kenyataannya, ada semacam kelas ulama yang pada akhirnya mendapatkan semacam otoritas religius dan sosial semacam pendeta/paus dlm Kristen. Kelas satu disebutkan dalam bab ini sebagai para ulama terpelajar atau para ahli hukum islam, yang lainnya hanya disebut sebagai scholar/akademisi saja. Melihat pentingnya Quran dan Sunnah (juga hadis), timbul kebutuhan utk mempunyai orang2 kelas profesional dimasyarakat muslim, mereka menjadi makin percaya diri dan mengklaim punya otoritas mutlak dalam segala hal yang menyangkut iman dan hukum.

Doktrin dari ‘Ijma’ hanya sekedar mengukuhkan kekuasaan mutlak mereka. Seperti dikatakan Gibbs, “Hanya setelah ijma dikenalkan sebagai sumber hukum dan doktrin, muncullah doktrin mengenai penghujatan. Segala usaha yg mempertanyakan keputusan2 yang telah ditetapkan dan diputuskan oleh konsensus disebut bidah, atau penghujatan.”[15]

Pengaruh ulama yg terus menerus menjadi faktor utama kenapa sangat sedikit kemajuan intelektual dicapai masyarakat muslim, kenapa pemikiran kritis tidak berkembang sepanjang sejarah islam. Khususnya
tahun2 belakangan ini, para ulama secara aktif merintangi usaha2 pengenalan ide Hak Azasi Manusia, kebebasan, individualisme dan demokrasi liberal. Contohnya para ulama bertindak dengan kekerasan terhadap konstitusi Iran 1906-07, menganggap konstitusi tersebut idak Islami; mereka sangat menentang pada konsep kebebesan yg dikandung konstitusi tsb. Kaum ulama telah terlibat jauh dalam proses islamisasi jaman modern ditiga negara, khususnya Iran, Sudan dan Pakistan. Ditiap negara ini, Islamisasi secara efektif berarti menghilangkan HAM atau membatasi HAM dengan referensi kriteria islam.

4. Apa syariah masih sah ?

Kita mungkin bertanya bagaimana sebuah hukum dimana elemen2nya pertama kali dijabarkan sekitar 1400 tahun lalu, dan dimana substansinya tidak berkembang sesuai jaman, bisa jadi relevan utk abad 21 ini. Syariah hanya menggambarkan kondisi sosial dan ekonomi dijaman Abbasid awal dan ketinggalan jaman secara sosial, ekonomi dan moral. Secara moral kita di BARAT telah lebih maju; kita tidak lagi menganggap wanita sebagai barang belaka yang bisa kita buang semau kita; kita tidak lagi percaya bahwa mereka yang tidak seagama tidak pantas dihormati; kita bahkan menyetujui hak2 anak dan binatang. Tapi selama kita tetap menganggap Quran sebagai Mutlak Benar, sebagai jawaban bagi semua masalah didunia modern ini, kita tidak akan maju maju. Prinsip yang dituang dalam Quran bertentangan total dengan kemajuan moral.

———— ——— —-
[1] Russell, Bertrand. Theory and Practice of Bolshevism. London, 1921. Hal.5,29,114.
[2] Dikutip dalam Muslim World vol.28. hal.6
[3] Ibid., hal.261
[4] Lewis, preface utk karya “Kepel The Prophet and Pharaoh”, London 1985, hal.10-11
[5] Shacht, Joseph. An Introduction to Islamic Law. Oxford, 1964.. Hal.69
[6] Ibid., hal.70-71
[7] Ibid., Hal.75
[8] Ibid., hal.201
[9] Ibid., hal.79
[10] Shacht, Joseph, “Islamic Religious Law”. Dalam The Legacy of Islam, Schacht and Bosworth, eds. Oxford, 1974.Hal.397
[11] Shacht, Joseph. An Introduction to Islamic Law. Oxford, 1964. Hal.205.
[12] Goldziher, Ignaz. Muslim Studies. 2 vol. terjemahan C.R. Barber dan S.M. Stern. London, 1967-71. Hal.63-64
[13] Shacht, Joseph, “Islamic Religious Law”. Dalam The Legacy of Islam, Schacht and Bosworth, eds. Oxford, 1974.Hal.399
[14] Nietzsche. The Portable Nietzsche. Ed. W. Kaufmann. New York, 1974. hal.596-597
[15] Gibb, H.A.R. Islam, Oxford, 1953. Hal.67
____________ _____
Para Muslim tidaklah bodoh. Mereka bisa melihat bahwa Islam adalah salah. Mereka tahu ayat2 Quran bertentangan satu sama lain. Mereka tahu Islam bertentangan dengan kecerdasan manusia dan tidak masuk akal, tapi mereka begitu terjebak di dalamnya sehingga mereka tidak bisa meninggalkannya. Mereka memaksa diri mereka untuk percaya, karena tanpa itu, mereka bagaikan tersesat.
– Ali Sina