Sdr G        ::     tanggal 02 Januari 2008

Sifat caci maki sebenarnya bukan sifat bangsaku. Sifat bangsaku adalah gotong royong, mufakat, dan demokrasi. Tapi sifat mufakat, gotong royong, ini sudah hampir pudar. Budaya asing telah merongrong budaya ini. Budaya asing itu yang mana.Silakan baca dan renungkan sendiri. apakah itu karena liberalisme, atau budaya asing lainnya. Budaya nenek moyangku juga sudah tidak diminati lagi. Caci maki dalam forum ini sebenarnya tidak perlu terjadi kalau kita bertindak dewasa. Kalau yang dikobarkan adalah semangat caci maki, maka tidak akan ketemu, karena masing-masing sudah pasang kuda-kuda. mari kita pertahankan kebenaran yang hakiki dan universal, dan bukan kebenaran yang semu.Karena sifatnya semu, maka cepat atau lambat pasti akan tercium baunya. Tuhan berkati saudara sekalian

————————————————————————— —–

Sdr D        ::     tanggal 30 Desember 2007

Saudara penghancur liberal,

Jika saudara betul-betul mempelajari semua kitab Allah, saudara akan tahu bahwa site ini sebenarnya bukan betul-betul dari fundamentalis liberal (liberalisme), tapi dari Yahudi yang masih tersisa di Indonesia.Sikap-sikap penipuan dan fitnah seperti yang ditunjukkan oleh site seperti ini sebenarnya sudah karakter Yahudi. Mereka berselubung dibalik Kristen, seolah Kristen sedang menghujat Islam. Padahal kristen sendiri sudah lama mereka sebut “domba domba Israel”. Orang-orang Kristen yang tidak mengerti, tidak ngeh soal ini. Kasihan mereka…

Terus terang, saya juga keturunan Yahudi. Kami mengenal sekali sikap-sikap tidak terpuji seperti ini. Karena itu kami sekeluarga sudah menjauh dari komunitas yahudi Indonesia. Kami mengerti bahwa sebenarnya Yahudi itu dulunya adalah orang orang yang tunduk (Islam) kepada Allah juga. Alhamdulillah, Allah memberi hidayah, kami sekeluarga sudah kembali ke Islam.

Shalom
Salam

David Abdullah

————————————————————————— —–

Sdr R        ::     tanggal 10 Oktober 2007

Sdr S         ::    tanggal 08 Oktober 2007

Buat Duladi

Sdr S…. Anda sudah termakan trik busuk Muhammad. Dia memang sengaja menggiring cara berpikirmu supaya mempersepsikan Muhammad sama dengan Musa. Muhammad begitu terkesan dengan kisah kepahlawan nabi Musa, itulah sebabnya dia menirunya. Tapi, karena Tuhan memang tidak pernah mengutusnya, yang bisa ditiru oleh Muhammad hanyalah PERANG, PENJARAHAN & PERBUDAKAN. Muhammad tidak bisa membelah laut, Muhammad tidak bisa mengubah tongkat jadi ular, Muhammad tidak bisa menunjukkan kehadiran Tuhannya, Muhammad tidak bisa membedakan baik dan jahat, dia melakukan itu semua untuk keuntungan pribadinya.

#### Jawab:
Mukjijat Musa tinggal cerita. Mukjijat Nabi Muhammad membelah bulan pun tinggal cerita. Lalu yang tinggal adalah Alquran. Alquran itulah mukjijat. Walaupun isi Alquran kamu hina, tetap saja Alquran selaras dengan apa yang di butuhkan manusia sampai hari kiamat. Sebab Alquran adalah Undang-Undang dari Allah SWT. Injil bukan undang-undang melainkan Buku Cerita zaman Romawi.

Apakah memang demikian kedudukan Al’quran: 

Merenungkan Sejarah Alquran

Pengkajian sejarah Alquran bukan hanya dimaksudkan untuk mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi yang selama ini tak terpikirkan oleh umat Islam, tapi juga merupakan modal intelektual untuk memahami kitab suci yang hingga hari ini terus menjadi sumber inspirasi hukum dan moral kaum Muslim. Saya ingin berangkat dari sebuah pijakan bahwa kajian ilmiah tidaklah merusak akidah. Kajian ilmiah juga tidak bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mendukung kebenaran dan menjunjung tinggi kebebasan.

Oleh Luthfi Assyaukanie

Bulan Ramadhan adalah bulan Alquran dan sekaligus merupakan bulan puji-pujian terhadap kitab suci ini. Tanggal 17 Ramadhan dianggap sebagai puncak dari ritual pengagung-agungan terhadap Alquran, karena pada tanggal inilah Alquran diyakini diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Di bulan yang suci ini, saya ingin merenungkan sejarah Alquran yang panjang, yang berproses, yang berjuang dengan berbagai tantangan zaman, hingga menjadi wujud dalam bentuknya yang kita kenal sekarang.

* * *
Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam.

Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.

Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern dan menggunakan
standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan (diacritical marks) dan otografi yang bervariasi.

Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan resmi seperti yang kita kenal sekarang.

Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang pertamakali dalam upaya standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para khalifah dan penguasa Muslim juga turun-tangan melakukan hal yang sama, kerap didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan konflik-konflik bacaan yang muncul akibat beragamanya versi Alquran yang beredar.

Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar yang luar biasa, karena upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan Alquran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Alquran Edisi Mesir itu merupakan versi Alquran yang paling banyak beredar dan digunakan oleh kaum Muslim.

Keberhasilan penyebarluasan Alquran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, kodifikasi dan standarisasi Alquran adalah karya institusi yang didukung oleh –dan menjadi bagian dari proyek– penguasa politik. Alasannya sederhana, sebagai proyek amal (non-profit), publikasi dan penyebaran Alquran tak akan efektif jika tidak didukung oleh lembaga yang memiliki dana yang besar.

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia mencetak ratusan ribu kopi Alquran sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari proyek amal yang sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi kitab suci. Kendati tidak seperti Uthman bin Affan yang secara terang-terangan memerintahkan membakar seluruh versi (mushaf) Alquran yang bukan miliknya (kendati tidak benar-benar berhasil), tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar Alquran hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan menyisihkan edisi lain yang diam-diam masih beredar (khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya).

Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada satu versi Alquran, yakni versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini benar-benar terwujud (entah kapan), maka itulah pertama kali kaum Muslim (baru) boleh mendeklarasikan bahwa mereka memiliki satu Alquran yang utuh dan seragam.

Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah. Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim.

Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.

Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf Uthmani,” pada masa itu telah beredar puluhan –kalau bukan ratusan– mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.

Ibn Mas’ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn Mas’ud tidak menyertakan surah 113 dan 114. Susunan surahnyapun berbeda dari Alquran yang ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah surah al-An’am, tapi surah Yunus.

Ibn Mas’ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah sebagai bagian dari Alqur’an. Sahabat lain yang menganggap surah “penting” itu bukan bagian dari Alquran adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan “kata pengantar” saja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci.

Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah “ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan Alqur’an. Ini merupakan tradisi populer masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam. Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: “siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka pekerjaannya menjadi sia-sia.”

Perbedaan antara mushaf Uthman dengan mushaf-mushaf lainnya bisa dilihat dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang dikutip oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata berikut: “pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat].” Pandangan Aisyah juga didukung oleh Ubay bin Ka’b, sahabat Nabi yang lain, yang di dalam mushafnya ada dua surah yang tak dijumpai dalam mushaf Uthman, yakni surah al-Khal’ dan al-Hafd.

Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan. Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku ‘ulum al-Qur’an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa puluh tahun kemudian.

Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori mereka atau para pengikut mereka, karena Alquran pada saat itu lebih banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan yang beredar pasca-kodifikasi Uthman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu. Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).

Sejarah penulisan Alqur’an mencatat nama-nama Ibn Amir (w. 118 H), al-Kisai (w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207 H); Ibn Hisyam (w. 229 H), Abi Hatim (w. 248 H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn Abi Daud (w. 316 H) sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam karya masahif mereka (umumnya diberijudul kitab al-masahif atau ikhtilaf al-masahif). Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi dan 11 mushaf para pengikut (tabi’in) sahabat Nabi.

Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas itu adalah para pewaris varian bacaan non-Uthmani.

Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’lamu atau bi’ilmi.

Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn Mas’ud berulangkali menggunakan kata “arsyidna” ketimbang “ihdina” (keduanya berarti “tunjuki kami”) yang biasa didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu juga, “man” sebagai ganti “alladhi” (keduanya berarti “siapa”). Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti “al-talaq” menjadi “al-sarah” (Ibn Abbas), “fas’au” menjadi “famdhu” (Ibn Mas’ud), “linuhyiya” menjadi “linunsyira” (Talhah), dan sebagainya.

Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan bahwa “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf.”

Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya telah semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang dianggap lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya rivalitas di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn Shanabudh.

Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya pengaruh. Sejarah membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini diterima orang banyak (atau dengan sedikit modifikasi menjadi 10 atau 14 varian). Alquran yang ada di tangan kita sekarang adalah salah satu varian dari apa yang dipilihkan oleh Mujahid lewat tangan kekuasaan. Yakni varian bacaan Asim lewat Hafs. Sementara itu, varian-varian lain, tak tentu nasibnya. Jika beruntung, ia dapat dijumpai dalam buku-buku studi Alquran yang sirkulasi dan pengaruhnya sangat terbatas.

***

Apa yang bisa dipetik dari perkembangan sejarah Alquran yang saya paparkan secara singkat di atas? Para ulama, khususnya yang konservatif, merasa khawatir jika fakta sejarah semacam itu dibiarkan diketahui secara bebas. Mereka bahkan berusaha menutup-nutupi dan mengaburkan sejarah, atau dengan memberikan apologi-apologi yang sebetulnya tidak menyelesaikan masalah, tapi justru membuat permasalahan baru.

Misalnya, dengan menafsirkan hadis Nabi “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf” dengan cara menafsirkan “huruf” sebagai bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi, dan seterusnya yang ujung-ujungnya tidak menjelaskan apa-apa. Saya sependapat dengan beberapa sarjana Muslim modern yang mengatakan bahwa kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa para ulama belakangan untuk menjelaskan rumitnya varian-varian dalam Alquran yang beredar. Tapi, alih-alih menjelaskan, ia malah justru mengaburkan.

Mengaburkan karena jumlah huruf (bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi), lebih dari tujuh. Kalau dikatakan bahwa angka tujuh hanyalah simbol saja untuk menunjukkan “banyak,” ini lebih parah lagi, karena menyangkut kredibilitas Tuhan dalam menyampaikan ayat-ayatnya.

Apakah kita mau mengatakan bahwa setiap varian bacaan, baik yang berbeda kosakata dan pengucapan (akibat dari jenis penulisan dan tatabahasa) merupakan kata-kata Tuhan secara verbatim (apa adanya)? Jika tidak terkesan rewel dan simplistis, pandangan ini jelas tak bertanggungjawab, karena ia mengabaikan fakta kaum Muslim pada awal-awal sejarah Islam yang sangat dinamis.

Lalu, bagaimana dengan keyakinan bahwa Alquran dari surah al-Fatihah hingga al-Nas adalah kalamullah (kata-kata Allah) yang diturunkan kepada Nabi baik kata dan maknanya (lafdhan wa ma’nan)? Seperti saya katakan di atas, keyakinan semacam ini hanyalah formula teologis yang diciptakan oleh para ulama belakangan. Ia merupakan bagian dari proses panjang pembentukan ortodoksi Islam.

Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses “copy-editing” oleh para sahabat, tabi’in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada dasarnya adalah manusiawi belaka dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum Muslim untuk menyikapi khazanah spiritual yang mereka miliki.

Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang sangat marak pada masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai upaya kaum Muslim untuk membebaskan makna dari kungkungan kata, ketimbang mengatribusikannya secara
simplistis kepada Tuhan. Seperti dikatakan seorang filsuf kontemporer Perancis, teks –dan apalagi teks-teks suci– selalu bersifat “repressive, violent, and authoritarian.” Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan membebaskannya.

Generasi awal-awal Islam telah melakukan pembebasan itu, dengan menciptakan varian-varian bacaan yang sangat kreatif. Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya kira, semangat pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru, tentu saja dengan melakukan kreatifitas-kreatifitas baru dalam bentuk yang lain.

Luthfi Assyaukanie. Dosen Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Paramadina, Jakarta, dan Editor Jaringan Islam Liberal.

Wasalam
Robert

————————————————————————— —–

Thanks to Sdr R.Postingan Anda menjawab komentar Sdr S HRS tanggal 06 Oktober 2007 16:06:48

Sdr Sawon menulis dalam postingannya demikian:

“…Umat Kristen pakai bahasa prokem karena tidak mengenal bahasa yang
digunakan Yesus. Iya, kan?”

Artikel Anda juga kami abadikan di HALAMAN DALAM.

Tertanda:
Admin

————————————————————————— —–

Sdr Robert        ::     tanggal 09 Oktober 2007   15:53:58

Salam Sejahtera dalam nama Tuhan Yesus Kristus….

Bahasa Yesus dan Bahasa Asli Doa Bapa Kami

. Bahasa Yesus sehari-hari (Bahasa Ibu) dalam berbicara adalah Aram/Aramaic
(Arab Kuno)
. Bahasa Yesus untuk mengajar didalam sinagoga adalah Ibrani (Hebrew)
. Bahasa Yesus untuk memberitakan Firman kepada Penduduk Galilea yang saat
itu sangat multi kultural adalah Yunani (Greek)

Salah satu keunikan Injil adalah pewartaan Yesus mula-mula di tengah dunia yang multi etnik dan multilingual di Galilea pada abad pertama Masehi. Dalam Yesaya 8:22 dinubuatkan daerah pelayanan Sang Mesiah: “DEREKH HAYAM EVER HAYARDEN GELIL HAGOYIM” (jalan ke laut, daerah seberang Yordan, Galilea wilayah bangsa-bangsa). Latarbelakang ini sangat mempengaruhi corak keagamaan Kristiani sejak semula. Beberapa ahli menyimpulkan, bahwa Yesus dan penduduk Galilea khususnya dan Israel pada umumnya berbicara dalam bahasa Ibrani, Aram dan sedikit Yunani.

Pertama, mengenai bahasa Ibrani dan Aram sebagai dua bahasa serumpun. Kedua bahasa ini erat bertalian, banyak kata dalam kedua bahasa ini sama. Tata bahasa dan sintaksisnya juga sama. Pada zaman Abraham (kira-kira 1900 SM) kedua bahasa itu dapat dikatakan identik, artinya belum terpecah satu sama lain. Dalam sebuah liturgi Yahudi kuno, disebutkan: “ARAMI OVED AVI VAYERED”, ‘Bapaku dahulu seorang Aram, seorang pengembara’ (Ulangan 26:5).
Ini merujuk kepada Yakub, nenek moyang bangsa Israel, bahwa ia disebut orang Aram sebab disitulah letak geografis tempat tinggalnya, meskipun ia bukan dari suku itu. Dan juga karena Yakub pernah tinggal di Aram-naharaim dan anak-anaknya yang kemudian menjadi bangsa Israel.

Berabad-abad kemudian (kira-kira 1,100 – 722 sM) dari bahasa yang satu itu melahirkan dua cabang bahasa: Ibrani di kalangan orang Yahudi di Palestina dan bahasa Aram di kerajaan-kerajaan Aram di Mesopotamia: Damaskus, Zobah dan Hamat.

Bahasa Ibrani dipakai oleh Saul, Daud, Salomo dan nabi-nabi lainnya, sehingga Perjanjian Lama untuk sebagian besar ditulis dalam bahasa ini. Bahasa Ibrani (atau dikenal sebagai bahasa Ibrani klasik) bertahan sebagai bahasa resmi kerajaan Israel sampai jatuhnya Yerusalem tahun 587 sM.

Sementara itu, bahasa Aram berkembang pesat ketika orang-orang Asyiria menguasai kembali Mesopotamia (883-606 sM) dan akhirnya bahasa Aram menjadi bahasa resmi kerajaan. Keadaan ini semakin kuat di kalangan orang-orang Babel (606-539 SM) dan kelak di kalangan Persia (539-333 SM). Pada zaman ini bahasa Aram terus mendesak bahasa Ibrani sampai zaman Yesus, khususnya di wilayah Galilea, Samaria dan daerah-daerah sekitarnya. Pada zaman itu bahasa Aram tersebar luas sebagai ‘lingua franca’ di wilayah Timur, sedangkan bahasa Yunani dipakai sebagai ‘lingua franca’ di wilayah Barat. Sementara itu bahasa Ibrani membeku sebagai “bahasa suci (bahasa liturgis)” di Bait Allah dan sinagoge-sinagoge Yahudi.

Kendati secara praktis bahasa Aram berbeda dengan bahasa Ibrani klasik, namun kedua bahasa ini adalah satu rumpun dan pada zaman Yesus bahasa Aram disebut juga sebagai bahasa Ibrani. Hal ini tampak pada catatan-catatan Perjanjian Baru, yang menyebut kata-kata Aram seperti: Gabbatha (Yohanes 19:13) sebagai bahasa Ibrani juga. Begitu pula, sejarahwan Yahudi Flavius Yosephus memberitahukan kepada kita bahwa ia menulis bukunya The Jewish War ditulis dalam ‘bahasa Ibrani’, meskipun kenyataannya ia menulis “dalam dialek Ibrani”, yaitu bahasa Aram. Karena pada zaman itu bahasa Aram, kendatipun dibedakan dari bahasa Ibrani sebagai “bahasa kekusasteraan rabbinis” (yang biasa disebut juga bahasa Ibrani Mishnah), tetapi bahasa Aram hanya dianggap sebagai dialek bahasa Ibrani tutur Galilea. Karena itu, Petrus dikenali karena dialek bahasanya (Matius 26:73).

Bahasa Ibrani, Aram maupun Yunani dijumpai bersama-sama di wilayah Israel pada abad pertama Masehi. Penemuan inskripsi-inskripsi kuno (graffiti, monogram dan simbol) di bekas sinagoge Kapernaum yang ditulis dalam bahasa Ibrani Aram, Paleo-estrangelo Syriac, Yunani, bahkan Latin membuktikan dunia multi-etnik dan multi-lingual Yesus Kristus. Lebih-lebih lagi, jelas sekali dalam Injil Yohanes 19:19 dicatat bahwa inksripsi di atas kayu salib Yesus dicatat dalam bahasa Ibrani, Yunani dan Latin. Untuk pembaca bisa membayangkan, selain teks asli Yunani, di bawah ini dapat kita ikuti rekonstruksi bunyi inskripsi itu dalam Ibrani (baik Ibrani Mishnah maupun Ibrani tutur) dan juga dalam bahasa Latin:

* iesous ho nasoraios ho basileos ton ioudaion (bahasa Yunani).

* Yeshua ha natseri melak ha-yehudim (bahasa Ibrani Mishnah).

* yeshua natsraya malka da yhudeim (bahasa Aram/Syriac).

* iesus nazarenus rex yudaerum (bahasa Latin).

Kalau begitu, bagaimana mengucapkan nama Sang Juru Selamat yang sah? Yeshua, Iesous atau Iesus/Yesus? Jawabnya, semua sah-sah saja, karena semua bahasa itu hidup pada zaman-Nya. Jadi, dalam bahasa Aram inilah Yesus berbicara sehari-hari dan mengajar murid-muridnya, begitu juga ketika dikatakan bahwa Yesus bebicara dengan Paulus dalam bahasa Ibrani (Kisah 26:14), kemungkinan besar dalam bahasa Ibrani tutur Galilea atau Aram. Tetapi ketika membaca Taurat dan Kitab Nabi-nabi di sinagoge, pasti Yesus mendaraskannya dalam bahasa Ibrani (Lukas 4:18-20). Tetapi Yesus juga berbicara dalam bahasa Yunani, misalnya dalam percakapannya dengan seorang perwira di Kapernaum (Lukas 7:1-10).

Tidak hanya ke-3 bahasa itu saja yang berkembang pada masa pelayanan Yesus. Adanya penjajahan Romawi pula mengakibatkan adanya empat bahasa di era Yesus Kristus:

[1] bahasa Ibrani merupakan bahasa liturgis, digunakan untuk membaca Torah, dan sebagainya, tidak digunakan sebagai bahasa sehari-hari, dikenal sebagai bahasa Ibrani Misyna karena adanya campur tangan para ahli Taurat menyusun Talmud;
[2] bahasa Aram, digunakan oleh orang Yahudi lokal sebagai bahasa sehari-hari;
[3] bahasa Yunani, digunakan oleh orang Yahudi pendatang sebagai bahasa pergaulan di Timur Dekat; pada umumnya Yahudi pendatang berbahasa Yunani ini mengunjungi Yerusalem dalam rangka transaksi bisnis dan ziarah ke Bait Allah; dan
[4] bahasa Latin, bahasa kaum penjajah yang digunakan oleh orang-orang Romawi yang menjajah Israel sejak tahun 63 sebelum Masehi.

Sesudah keruntuhan Yerusalem tahun 70 Masehi, bahasa Aram yang mereka
gunakan pun berangsur-angsur punah, bercampur dengan bahasa Jerman,
Polandia, dan Rusia sehingga timbul dialek-dialek Yahudi yang baru seperti
Yidisy, Ladino, dan sebagainya.

Sekitar awal 1800-an kalangan Yahudi yang dipelopori oleh seorang rabi mulai
mengusahakan agar bahasa Ibrani kuno yang ditulis di dalam Tanakh (Taurat,
Zabur, dan lain-lain) digunakan sebagai bahasa percakapan. Dan mulai saat
itulah bahasa Ibrani baru digunakan kembali oleh orang Israel setelah tidak
digunakan lebih dari 1000 tahun.

————————————————————————— —–

Sdr Duladi        ::     tanggal 08 Oktober 2007   23:47:44

To: Sawon,

Sawon menulis, “…Mukjijat Musa tinggal cerita. Mukjijat Nabi Muhammad membelah bulan pun tinggal cerita. Lalu yang tinggal adalah Alquran. Alquran itulah mukjijat.”

Kamu ngaco! Kumpulan kata-kata manusia setengik Muhammad kau bilang mujizat? Dilihat dari sisi mana mujizatnya?

Sawon menulis, “…Walaupun isi Alquran kamu hina, tetap saja Alquran selaras dengan apa yang di butuhkan manusia sampai hari kiamat….”

Selaras yang dibutuhkan manusia untuk buku panduan bagaimana caranya berpoligami, bagaimana caranya memperlakukan perempuan, bagaimana caranya memperlakukan kafir, bagaimana caranya membunuh kafir dan menguras habis hartanya?

Coba kau tengok negara-negara Islam seperti Afghanistan, Sudan, Bangladesh, Pakistan, Nigeria, adakah kemajuan di sana? Islam tidak membawa kemajuan, justru membawa kehancuran bangsa. Bangsa-bangsa itu menjadi korban ambisi
gila Arab. Sementara para petinggi Arab berfoya-foya dengan pesta seks-nya, negara-negara Islam saling bunuh sesama saudara sendiri. Perang dan teror di mana-mana, tidak ada kedamaian.

Sawon menulis, “…Sebab Alquran adalah Undang-Undang dari Allah SWT. Injil bukan undang-undang melainkan Buku Cerita zaman Romawi….”

Terserah kamu mau bilang apa tentang Injil, toh Injil tidak mengajarkan bunuh-bunuhan seperti ajaran setan dari Arab. Kamu mengatakan Alquran adalah Undang-Undang dari Allah, darimana Anda tahu kalau Alquran itu Undang-Undang dari Allah?

Cobalah Anda untuk lebih cerdas sedikit saja, Anda akan tahu kalau itu bukan kata-kata Allah, tapi kata-kata Muhammad.

Anda harus jeli, bahwa:

1) Awloh bukan Tuhan yang sama dengan Tuhan yang mengutus Musa 1500 SM silam.

Sawon menulis, “…Masak sama-sama Nabi Tuhannya berbeda…”

Siapa bilang Muhammad itu nabi?

Dia seorang penjahat yang memaksakan kehendaknya kepada orang-orang Arab sampai dia berhasil menguasai seluruh jazirah di bawah kekuasaannya. Sawon menulis dengan gaya Islam asli, “…Justru yang berbeda Tuhan kamu.
Tuhan kamu kencing dan berak….”

Yesus kencing dan berak, tapi dia tidak jahat. Kamu adalah budak Arab tulen,
kata-katamu adalah sebuah pengakuan jujur bahwa Islam jahat. Dirimu adalah
cerminan Islam.

2) Musa berperang, menjarah dan memperbudak orang-orang fasik, bukan
lantaran ia tidak diakui nabi oleh orang-orang itu.

Sawon menulis, “…Musa tidak butuh pengakuan sebagai nabi dari bangsa
selain Israel sebab beliau diutus hanya untuk bangsa Israel. Ngurus bangsa
Israel saja Musa sangat berat hingga minta bantuan Harun.”

Maksudmu, karena Muhammad untuk semua bangsa, dia dibenarkan main paksa dan
main bunuh terhadap orang-orang yang tidak mau mengakuinya nabi?
GENDENG!!!!!!!!!!
Kau membenarkan perbuatannya itu? Bahkan tidak hanya kepada bangsa-bangsa
non-Arab, sedang terhadap bangsanya sendiri saja dia jahat, main paksa dan
main bunuh hanya gara-gara dirinya tidak diakui nabi.

Masakan kamu tidak bisa merasakan ketololan dari cara berpikirmu sendiri?

Kalau kamu merasa Muhammad itu baik, kamu pantas membelanya mati-matian dan mengajukan berbagai bukti sahih bahwa Muhammad tidak gila dan tidak jahat. Tapi kamu sendiri tahu, Muhammad itu jahat dan gila, tapi kamu tetap saja membelanya. Bukankah ada yang tidak beres dengan otakmu? Bahkan ada tanda-tanda, kamu mewarisi watak dan pribadi jahatnya itu.

Sadarlah Sobat. Muhammad bukan segala-galanya. Dia bukan bapakmu, bukan
nenek moyangmu, dan juga bukan anak atau saudaramu. Muhammad itu orang Arab
yang telah menggobloki dunia dengan ajaran-ajaran konyolnya. Tanpa sadar,
kamu telah jadi budaknya. Apa yang kamu dapat dari sikap pembelaanmu kepada
kejahatan-kejahatannya? Masuk surga? Tidak. Bukan surga yang kau dapat, tapi
neraka. Tidak ada manusia jahat yang akan diterima Tuhan di surga-Nya.

3) Musa berperang, menjarah dan menguasai suatu negeri bukan untuk memaksa
penduduk kota itu mengakuinya nabi.

4) Musa tidak pernah mendoakan bangsanya agar dilaknat oleh Tuhan, tidak
seperti Muhammad yang pendendam dan suka balas dendam.

Sawon menulis, “…Tuhan dan Musa itu pendendam. Bilangan 31:2 “Lakukanlah
pembalasan orang Israel kepada orang Midian; kemudian engkau akan
dikumpulkan kepada kaum leluhurmu…”

Nah, itu pembalasan orang Israel kepada orang Midian karena kejahatan mereka
kepada bangsa tersebut, bukan pembalasan kepada orang Midian karena orang
Midian tidak mengakui Musa nabi.

Anda harus bisa membedakan ego pribadi dengan ego Tuhan.

Musa tidak melakukan peperangan dan penjarahan untuk kepentingannya pribadi,
tapi karena perintah Tuhan.

Beda dengan Muhammad. Muhammad berperang, menjarah, memperkosa, menguasai
wilayah-wilayah yang dulu bukan miliknya menjadi daerah kekuasaannya, adalah
demi ambisi pribadinya, yaitu agar dirinya diangkat menjadi nabi.

Masakan Anda masih sulit mencerna sifat dan pribadi Muhammad yang konyol dan tengik itu?

Intinya, Muhammad jelas beda dengan Musa. Muhammad tidak mengerti dan tidak bisa membedakan mana baik dan mana jahat. Muhammad tidak tahu bagaimana caranya menjadi orang baik, sedang Musa mampu melakukan hal-hal itu.

Sawon menulis, “…Perintah pembunuhan yang dilakukan Musa ini baik / jahat?
Bilangan
31:17 Maka sekarang bunuhlah semua laki-laki di antara anak-anak mereka, dan
juga semua perempuan yang pernah bersetubuh dengan laki-laki haruslah kamu
bunuh….”

Oke…, nurani Anda tentu tahu bahwa itu kejam, itulah sebabnya Anda
menunjukkan kisah itu kepada saya.

Sekarang coba Anda telaah. Perintah itu untuk ego pribadi atau untuk Tuhan?
Sudah jelas, Musa mendapat perintah itu dari Tuhan. Musa membunuh anak-anak
kecil dan para wanita, semata-mata bukan lantaran dirinya ingin diakui nabi,
atau gara-gara dirinya tidak diakui nabi, tapi karena Tuhan yang
memerintahkan itu.

Mungkin Anda akan mengatakan, Muhammad pun juga sama, diperintah oleh Awloh.

Maka ini menunjukkan bahwa Anda tidak peka. Bagaimana Anda bisa percaya
dengan omongan Muhammad yang mengatakan dirinya diperintah Awloh, sedang
misi utamanya adalah agar dirinya diakui sebagai rasul? Dan barangsiapa
menolak dirinya sebagai rasul, harus diperangi. Ini ego pribadi, dan sudah
jelas-jelas tidak kelihatan adanya kepentingan Tuhan di situ.

Tuhan tidak pernah main paksa, apalagi demi untuk pengakuan terhadap nabi.
Untuk apa? Bukankah yang logis itu, Muhammad yang merasa diuntungkan dalam
hal ini?

Sepanjang sejarah kenabian, tidak ada nabi yang gila pengakuan, dan marah
bila dirinya tidak diakui. Membantai sana-sini, merampok harta dan
memperkosa wanita hanya gara-gara dirinya ingin kaya dan ingin diangkat jadi
nabi. Tidak peduli bangsanya sendiri atau bangsa lain, dilibasnya bila tidak
mau mengikuti kemauannya yang gila itu.

—-

Muhammad tidak tahu kapan dia akan mampus, karena Tuhan tidak pernah
mengutusnya.
Musa tahu kapan dia akan mati, karena Tuhan memang dekat dengannya.

Sawon menulis, “…Itu bukan masalah penting, yang jelas semua manusia pasti
mati….”

Anda salah, Sobat. Justru itu sangat penting. Hal itu untuk membuktikan
apakah orang ini benar-benar Sahabat Tuhan. Bukankah Muhammad mengklaim
dirinya SAHABAT AWLOH yang paling dekat? Lalu kenapa mati pun tidak tahu?

Coba Anda bandingkan dengan Musa. Musa tahu kapan dia akan meninggal. Yesus
pun tahu kapan dia akan meninggal. Bila Muhammad, yang katanya orang paling
dikasihi Awloh, tapi mati pun tidak tahu sampai harus mati mendadak dan
menyebabkan kekacauan di antara para pengikutnya, bukankah ini sudah cukup
alasan buat kita untuk meragukan kenabiannya? Apalagi, dia tidak bisa bikin
mujizat. Orangnya jahat, kejam, gila harta, serakah, penuh dosa, berbuat
zinah. Apalagi yang kita bisa dapatkan dari orang ini agar kita tetap
menganggapnya nabi? Nothing!!!! Habis semua modal kita. Kita tidak punya
cukup alasan untuk tetap tinggal dengan agama tolol dari Arab, kecuali
meninggalkannya.

Anda mengutip kata-kata Muhammad:

Dan itu sudah tertulis dalam Alquran: “Muhammad itu tiada lain hanyalah
seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Apakah jika
dia mati atau terbunuh, kalian akan berbalik ke belakang (murtad)? Siapa
saja yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat
kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepda orang-orang
yang bersyukur.” (Ali Imran: 144)

Jadi Anda takut dengan ayat Quran di atas? Betapa konyolnya ayat itu.
Saudara Sawon, seandainya kata-kata di atas bukan diucapkan oleh Muhammad,
masih sedikit bisa diterima akal. Tapi yang mengucapkan kata-kata itu
Muhammad, bagaimana kita bisa menerimanya sebagai kata-kata Tuhan? Sedang
apa yang dia katakan adalah mengenai dirinya sendiri? Bukankah itu ayat
untuk kepentingannya Muhammad? Dan Muhammad pula yang mengucapkannya dan
mengklaim itu kata-kata Tuhan? Anda tidak merasa telah dibodohi oleh orang
ini? Tidakkah Anda mengerti maksudnya? Dengan kata-kata itu, Muhammad takut
para pengikutnya murtad sehingga melupakan dia dan tidak lagi bersholawat
untuk Muhammad. Bukankah orang yang mempercayai kata-kata tersebut sebagai
kata-kata Tuhan menunjukkan otaknya sudah bego?

—-

Muhammad hanya mampu meniru kisah-kisah perang, penjarahan dan perbudakan
yang pernah terjadi di masa nabi Musa, tapi tidak mampu meniru kenabiannya,
sebab Allah memang tidak pernah mengutus manusia terkutuk itu.

Sawon menulis, “Itu kan kata kamu.”

Benar, dan itulah kenyataannya.

Anda mengatakan, Musa hanya untuk bani Israel saja. Itu benar. Pada zaman
nabi Musa, hanya bani Israel sajalah umat milik kesayangan-Nya.

Sawon menulis, “…Benar kan, kamu telah dikibuli oleh Yahudi. Tuhan Israel
pilih kasih. Memang di dunia waktu itu tidak ada manusia dan bangsa lain?”

Okelah, Sawon…. mari kita sama-sama kritis.

Pertama, seandainya saya telah dikibuli Yahudi, mereka mengarang buku cerita
yang isinya mengisahkan kecintaan Tuhan kepada satu bangsa saja, yaitu
bangsa mereka, bangsa Yahudi, berarti kisah nabi-nabi Yahudi itu semuanya
bohong. Tidak pernah ada nabi yang diutus Tuhan, sebab sebagian besar
nabi-nabi yang juga dijiplak oleh Muhammad itu adalah nabi yang berasal dari
Yahudi. Tapi mari kita lihat, bahkan nabi palsu Muhammad mengakui nabi-nabi
Yahudi sebagai nabi utusan Tuhan.

Jadi, jelas di sini saya bisa menarik kesimpulan bahwa bangsa Yahudi tidak
menipu. Kalau mereka mengaku sebagai bangsa kesayangan Tuhan, itu benar, dan
itu jujur.

Terbukti pula, dalam buku sejarah mereka banyak memuat kisah-kisah memalukan
dan menyedihkan tentang bangsa mereka sendiri yang akhirnya membuat Tuhan
menghukum mereka dan membuat mereka terbuang ke segala bangsa.

Kedua, seandainya bangsa Arab, terutama Muhammad sang pelopor, bukan penipu, sudah tentu agama yang dia bikin haruslah mencerminkan keuniversalan agama Tuhan. Tapi kita lihat, Tuhan telah jadi COMBE ARAB. Dia memaksakan bahasa Arab sebagai bahasa Tuhan. Dia memaksakan budaya Arab (cara berpakaian, cara hidup, dll) agar diterapkan sebagai budaya standar dalam beragama. Dia memaksakan agar semua pengikut agama ini menghormat ke kota Arab, tidak peduli apapun bangsanya. Dia juga meminta semua pengikut agama ini, tidak peduli apapun bangsanya dan di mana lokasinya, untuk mengunjungi kota Arab dan ini artinya sekaligus menyetorkan devisa untuk Arab. Tidakkah dari ini saja, kita bisa menarik kesimpulan kalau semua itu cuma AKAL-AKALAN bangsa Arab saja?

Apalagi, track record Muhammad sungguh memalukan. Bangsa Arab pun sampai kini bukanlah bangsa yang baik. Bahkan cara menyebarkan agama ini pun tidak wajar, penuh kekerasan dan pemaksaan. Bagaimana mungkin, Arab tiba-tiba berubah menjadi GOD’S POSSESSION?

Jadi, Sobat Sawon, dengan sikap kritis dan netral, kita dapatkan kesimpulan:

1) Bangsa Yahudi tidak menipu.
2) Bangsa Arab telah menipu.

Mungkin Anda nanti akan mengatakan: “Itu khan kata Anda!”
Ya, itu memang kata-kata saya, tapi tidakkah Anda juga punya pemikiran yang sama? Kalau Anda punya cara berpikir yang lain, saya ingin tahu…. Pasti ada yang tidak beres dengan jalan berpikirmu, Sobat.

——

Sebaliknya, Muhammad adalah pendiri negara Arab Saudi. Dia ciptakan agama Islam sebagai alat untuk memuluskan ambisinya jadi penyesat umat manusia. Secara manusiawi, Islam adalah agama Arab, bukan agama untuk bangsa-bangsa di dunia. Islam tidak universal. Islam untuk kemuliaan Arab semata. Itu saja memberi kita bukti logis kalau Islam bukan dari Tuhan.

Sawon mengatakan, “Itu kan kata kamu.”

Benar, dan itulah kenyataannya. Muhammad adalah pendiri negara Arab Saudi. Sebelum Muhammad menguasai Arab, bangsa Arab terpecah-pecah dan tidak mempunyai pemerintah. Sungguh masuk akal, bila Muhammad ingin membuat jaya negaranya, yaitu Arab.

####

Kaabah dan Batu Hitam, adalah peninggalan Pagan.

Muhammad begitu menghormatinya, sampai-sampai setiap kali dia berhaji, dia memberi hormat pada batu tersebut, menunjukkan tongkatnya ke arah batu tersebut, sambil berseru: “Allahuakbar”. Jadi, Batu itulah Awloh.BUKHARI, Volume 2, Book 26, Number 697:
Diceritakan oleh Ibn Abbas:
Rasulullah melakukan Tawaf (di Ka’bah) membelakangi seekor unta (di saat Rasul terluka kakinya). Setiap kali dia datang ke sudut Ka’bah (di mana Batu Hitam diletakkan) dia akan menunjuk ke arah batu itu dengan sebuah tongkat di tangannya sambil berseru, “Allahu-akbar.”

Sawon menulis, “…Bukankah sudah saya jelaskan Kabah dan hajar aswad bukan
barang sembahan.”

Anda mengatakan Kabah dan Hajar Aswad bukan barang sembahan. Anda menutup mata tentang sholat. Kalau bukan barang sembahan, terbukti Muhammad mengajarkan SUJUD ke arahnya. Saat haji, mencium batu itu sambil berujar, “Kami memenuhi panggilanmu ya Allah!” Tidakkah itu cukup bukti dan cukup alasan bagi kita untuk tersadar, bahwa BATU HITAM ITULAH AWLOH SEMBAHAN MUHAMMAD.

Sawon menulis, “… Sekarang kalau berani kamu sobek itu bendera merah putih di depan Kantor Polisi, pasti kamu akan ditangkap. Kamu bisa berdalih itu hanya selembar kain yang di beri warna merah dan putih, tetap saja kamu masuk penjara. Iya, kan? Itulah perumpamaannya. Hajar aswad itu peninggalan nabi Ibrahim yang perlu dijaga dan dirawat walaupun pernah pecah berkeping-keping dan sekarang diikat dengan sabuk perak.”

Apakah kita menyembah bendera merah putih? Apakah para leluhur bangsa kita pernah mencium bendera merah putih kemudian diikuti dengan ucapan: “Aku mencintaimu ya Allah!” ???? Apakah leluhur bangsa kita pernah mengarahkan tangan atau tongkatnya ke arah bendera merah putih, sambil berseru: “Allah Maha Besar!”

Kalau para leluhur kita pernah melakukan itu, tidakkah itu cukup bukti bagi kita untuk menganggap bendera merah putih adalah Allah? Nah, masalahnya, para leluhur kita tidak pernah melakukan hal seperti itu terhadap bendera merah putih, sekalipun kita wajib menghormatinya sebagai lambang kebangsaan.

Terhadap Hajar Aswad, Muhammad memperlakukannya seperti Allah. Tidakkah ini nyeleneh? Terhadap Kabah, Islam begitu hormat, sampai disuruh sujud dan menyembah 5 kali sehari di hadapan kubus itu. Bukankah ini janggal?

Sobat S, kamu dan teman-teman kita yang muslim, telah ditipu. Kita semua telah menyembah Allah yang salah. Kabah dan Batu Hitam itulah Awloh yang disembah bangsa Arab. Itulah sebabnya, sampai kini, pemerintah Saudi melarang orang asing melihat bagian dalam bangunan Kabah. Bangsa Arab tahu, Awloh bukan Tuhan. Mereka menyembunyikan sesuatu dari kita, mereka adalah penipu.

– Duladi –

————————————————————————— —–

“Muhammad sangat benci pada Kristen & Yahudi sebab umat itu tidak mengakuinya sebagai nabi. Masalah ketauhidan & penyembahan hanyalah alasan yang dicari-cari agar ia & pengikutnya bisa memusuhi & memerangi mereka.”Kepada Semua Liberalisme sadarlah kalian…………!

Demi Allah yang jiwaku ada ditanggannya …… saya Akan
menegakan kebenaran dimuka bumi
meskipun kalian semua akan menghalangi……….!

Pengirim:
Sdr PENGHANCUR LIBERAL
Email: apa_aja@yahoo.com
Tanggal: 04 Oktober 2007   10:45:44

Nama wEmail sem@aol.com
Topik Kepada Semua Liberalisme sadarlah kalian…………!

Islam Bukan Agama. Islam adalah Aliran Pemujaan.
Islam membentuk Pengikutnya menjadi Orang-orang yg Sangat Jahat!
Mereka akan kehilangan nuraninya, sebab mereka adalah mesin-mesin pembunuh
bagi Muhammad sang Nabi Setan.  Lihat Fakta Sejarah (klik di sini)

“Untuk benar-benar dapat informasi lengkap, orang harus baca Hadis Sahih dalam bahasa Arab asli dan dalam bahasa Inggris. Upaya-upaya bedah plastik di buku-buku Islam yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris merupakan cara cerdik para ‘dokter’ Islam untuk menipu dunia tentang isi Islam yang sebenarnya karena semua orang sangat ragu untuk percaya bahwa Islam adalah agama damai.”