Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Sura Quran 4:80)

VIDEO: Tak cukup hanya taat pada Allah, tetapi kepada Allah dan Muhammad

Oleh Ali Sina

Bagi orang narsisis, yang paling penting adalah kekuasaan. Dia ingin dihormati, dikenal, dan tidak diabaikan. Orang narsisis adalah orang yang kesepian, tidak merasa aman dan merasa malu. Hasrat terbesar mereka adalah untuk memuaskan kebutuhan mereka akan rasa hormat dan perhatian yang mereka terima sebagai penyampai dari pesan-pesan yang mulia. Pesannya itu sendiri tidaklah penting. Pesan itu hanya alasan saja. Orang narsisis menciptakan tuhan-tuhan khayalan dan pesan-pesan palsu yang menempatkan diri mereka sendiri sebagai wakil resmi dari pesan-pesan tersebut. Semakin mereka mengagungkan tuhan palsu mereka, semakin besar kekuasaan yang mereka dapatkan bagi mereka.

Allah bagi Muhammad adalah sebuah alat yang nyaman untuk memanipulasi orang. Melalui dia, dia bisa mendapat wewenang tak terbatas terhadap para pengikutnya. Dia menjadi tuan atas nyawa mereka. Hanya ada satu tuhan, maha kuasa, ditakuti, juga murah hati dan pengampun, dan dia, Muhammad, adalah satu-satunya yang menjadi penghubung antara Dia dan manusia. Ini membuat Muhammad menjadi wakil Allah. Meski kepatuhan yang seharusnya untuk Allah turun kepada dia, dalam kenyataannya, selalu Muhammad dan setiap tingkahnyalah yang berharap untuk dipuaskan oleh para pengikutnya. Dr. Vaknin menjelaskan:

Menjadi Tuhan adalah yang paling diinginkan oleh seorang Narsisis: maha kuasa, maha tahu, ada dimana-mana, dipuja, dibicarakan, dan membangkitkan rasa hormat. Menjadi Tuhan adalah mimpi basahnya orang narsisis, khayalan terhebatnya. Tapi Tuhan berguna dalam banyak hal juga.

Narsisis berubah-ubah, mengidealkan dan meremehkan figur otoritas.

Dalam fase idealisasi, dia berusaha menyamai mereka, dia mengagumi mereka, meniru mereka (sering secara menggelikan), dan membela mereka. Mereka tidak bisa salah atau boleh salah. Orang narsisis menganggap mereka lebih besar dari hidup itu sendiri, sempurna, lengkap dan brilian. Tapi ketika harapan-harapan sang narsisis yang tidak realistis dan kempes menghadapi kegagalan, dia mulai meremehkan bekas idolanya itu.

Sekarang mereka menjadi “manusia” (bagi sang narsisis ini adalah sebuah hal yang hina). Mereka makhluk kecil, rapuh, mudah salah, penakut, kejam, bodoh dan biasa-biasa saja. Sang narsisis menjalani siklus yang sama dalam hubungannya dengan Tuhan, figur otoritas yang menjadi teladannya.

Tapi seiring, bahkan ketika kekecewaan dan keputus-asaan tentang penyembahan muncul, – sang narsisis terus berpura-pura cinta pada Tuhan dan masih mentaati-Nya. Sang narsisis mempertahankan penipuan ini karena posisinya sebagai wakil Tuhan membuat dia punya wewenang. Para pendeta, pemimpin jemaah, pengkhotbah, penginjil, aliran pemujaan, politisi, kaum intelektual, semua memperoleh wewenang dari yang katanya ‘hubungan khusus mereka dengan Tuhan’.

Otoritas religius membuat sang narsisis menuruti keinginan sadisnya dan untuk menjalankan misogyny (kebenciannya terhadap wanita) secara terbuka dan bebas… Sang Narsisis, yang sumber berwenangnya adalah religius, mencari para budak yang patuh dan tidak banyak Tanya, yang mana kemudian dia jalankan keahlian tipu dan keinginannya itu pada mereka. Sang narsisis bahkan bisa mengubah sentimen religius murni dan tidak berbahaya menjadi sebuah ritual pemujaan dan hirarki yang berbahaya. Dia memangsa orang-orang yang mudah dibujuk. Para pengikutnya sekaligus jadi sanderanya.

Otoritas religius juga mengamankan ‘Suplai narsisistik’ sang narsisis. Para pengikutnya, anggota jemaahnya, para pemilihnya, para pendengarnya – semua diubah menjadi Sumber Suplai Narsisistik yang setia dan stabil. Mereka mematuhi perintah-perintahnya, memperhatikan tegurannya, mengikuti syahadatnya, mengagumi pribadinya, memuji sifat-sifatnya, memuaskan kebutuhannya (kadang bahkan kebutuhan seksualnya), memuja dan mengidolakannya.

Selain itu, menjadi bagian dari “Hal yang Lebih Besar”  sangat memberi kepuasan secara narsisistikal. Menjadi partikel Tuhan, menjadi satu dengan keagungan-Nya, mengalami sendiri kekuasaan dan berkat-Nya secara langsung, hidup bersama Dia – semuanya adalah Sumber Suplai Narsisistik yang tak ada habisnya. Sang narsisis menjadi Tuhan dengan memperhatikan perintah-perintah-Nya, mengikuti Instruksi-Nya, mencintai-Nya, mematuhi-Nya, mengalah pada-Nya, menyatu dengan-Nya, berkomunikasi pada-Nya – atau bahkan dengan menantang-Nya (semakin besar musuh sang narsisis – semakin merasa lebih pentinglah sang narsisis).

Seperti juga hal lain dalam kehidupan sang narsisis, dia mengubah Tuhan menjadi semacam kebalikan dari si narsisis. Tuhan menjadi sumber suplainya yang dominan. Dia bentuk hubungan pribadi dengan entitas lebih kuasa dan lebih melimpah ini – untuk melimpahi dan menguasai yang lain. Dia menjadi Tuhan itu sendiri, dengan menjadi wakil-Nya. Dia mengidealkan Tuhan lalu meremehkan Dia, kemudian menganiaya-Nya. Ini adalah sebuah pola narsisistik yang klasik, dan bahkan Tuhan sendiri tidak akan bisa lolos dari hal ini. (http://samvak.tripod.com/journal45.html )

Orang narsisis tidak secara langsung mempromosikan diri mereka sendiri. Mereka bersembunyi dibelakang lapisan kesederhanaan, sementara mereka mengangkat Tuhan mereka, ideologi, pesan atau agama, yang dalam kenyataannya adalah alter ego dia sendiri. Mereka mungkin menyebut mereka sendiri sebagai ‘cuma utusan’, sederhana, rendah hati, tanpa penonjolan diri, dari Tuhan yang Maha Kuasa, atau pesan yang sangat berpengaruh, tapi mereka membuat sangat jelas bahwa mereka sajalah yang tahu pesan-pesan-Nya dan sangat tidak toleran dan tanpa maaf bagi orang yang ingkar dan melawan.

Orang narsisis sangat kejam, tapi tidak bodoh. Mereka sangat sadar akan rasa sakit yang mereka sebabkan. Mereka menikmasi sensasi kuasa yang mereka dapatkan dengan menyakiti orang lain. Mereka menikmati jadi Tuhan – menentukan siapa yang diberi hadiah dan siapa yang dihukum – siapa yang hidup siapa yang mati. Narsisisme Patologis menjelaskan segala hal yang ada dalam diri Muhammad – kekejamannya, pengakuan maha hebatnya, kelakuan murah hatinya yang dilakukan untuk membuat terkesan mereka yang takluk padanya, dan dengan demikian membangun superioritasnya, keyakinan dirinya, juga pribadi karismatik dan keranjingannya.

Tulisan ini dipetik dari buku: UNDERSTANDING MUHAMMAD (Psikobiografi Nabi Allah)