Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya (QS 4: 15)

Ketika Marte Deborah Dalelv melaporkan dirinya diperkosa oleh seorang rekan kerjanya selama kunjungan ke Dubai, UEA pada tahun 2013, dia mengira bahwa pelaku pemerkosaan akan diadili. Akan tetapi, pengadilan malah mendakwanya melakukan hubungan seksual yang tidak sah di antara Muslim (zinah).

Wanita yang melaporkan kasus perkosaan di Uni Emirat Arab (UEA) terancam akan dituduh, dan seringkali dipenjara karena melakukan zinah – perselingkuhan dan hubungan seksual tidak sah di dalam Islam. Negara tersebut tunduk pada Hukum Syariah, yang menghukum hubungan seks di luar pernikahan dengan hukuman penjara dan bahkan pemecutan.

Banyak wanita hamil atau pembantu rumah tangga yang meninggalkan negaranya untuk bekerja pada seorang majikan, menjadi tahanan wanita, demikian laporan The Guardian. Beberapa wanita yang melaporkan diri diperkosa berakhir dengan menghadapi tuntutan dan penahanan ini merupakan warga yang tinggal di UEA, kebanyakan dari mereka adalah pembantu rumah tangga yang bekerja bagi warga negara yang kaya raya.

Situasi ini sering terjadi, menurut peneliti Amnesty International bernama Drewery Dyke. “Korban perkosaan dituduh melakukan hubungan seksual yang terlarang, sementara tersangka kasus perkosaan sendiri tidak menjalani pemeriksaan,” demikian lapornya.

Seorang wanita hamil yang tidak menikah yang dituduh melakukan “hubungan seks terlarang” harus membuktikan dirinya telah diperkosa dengan menghadirkan empat orang pria yang mengkonfirmasi laporannya, atau dengan adanya pengakuan dari pemerkosa. Tanpa bukti, wanita yang dituduh melakukan zinah umumnya divonis hukuman penjara selama beberapa bulan atau bertahun-tahun.

Banyak wanita di UEA enggan melaporkan bahwa mereka telah diperkosa karena takut akan ditahan. Monica, mantan pelayan asal Filipina adalah salah satunya. Menurut BBC, beberapa bulan setelah meninggalkan suami dan tiga anaknya untuk memperoleh uang dengan bekerja pada sebuah keluarga di UEA, dia diserang oleh sopir keluarga tersebut.

Monica bersikap diam mengenai perkosaan tersebut, hanya untuk menyadari tiga bulan kemudian bahwa ia hamil. Karena kekurangan bukti bahwa ia telah diperkosa, dia menyembunyikan kehamilannya, karena kehamilannya akan menjadi bukti dari “hubungan seks yang dilarang” di UAE, dan dia bisa dimasukkan ke penjara.

Di bawah sistem Kafala, para pekerja yang datang ke UAE harus disponsori oleh majikan mereka. Pegawai hanya boleh bekerja pada majikan tersebut dan dilarang untuk meninggalkan negara itu tanpa ijin. Seringkali, majikan menyita paspor mereka, sehingga tidak meninggalkan pilihan lain selain hidup di bawah atap yang sama dengan orang yang menganiaya mereka.

Meskipun pria menjalani masa tahanan karena melanggar hukum dan melakukan hubungan seks di luar pernikahan, adalah lebih lazim bagi wanita hamil untuk menerima tuduhan dan masa tahanan, karena kehamilan digunakan sebagai bukti zinah.

Larangan hubungan seks yang tidak sah telah memunculkan kritik dari organisasi-organisasi hak asasi manusia, yang berpendapat bahwa hukum tersebut melanggar hukum internasional hak asasi manusia. Menurut Rothna Begum, seorang peneliti mengenai hak-hak wanita di Human Rights Watch, London, solusi bagi permasalahan ini adalah dengan menghapus hubungan seks di luar pernikahan dari daftar tindak kriminal. “Hal ini kemudian akan menghilangkan kemungkinan para korban untuk menjadi pihak yang tertuduh,” katanya. “Kemudian Anda perlu memastikan bahwa mereka yang menjadi korban berada dalam situasi di mana mereka tidak rawan diserang.”

Sumber: digitaljournal.com