Dengan memperlihatkan sejarah Islam yang penuh dengan kekerasan, dan bagaimana praktek-praktek penindasan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadaban abad ke-21 masih terus dilakukan oleh orang-orang Muslim hingga masa kini, maka orang-orang Muslim mau tak mau harus mempaket ulang iman mereka bagi kepentingan zaman modern. Sejumlah apologet utama Islam menggunakan taktik tipu daya yang melibatkan semantika dan setengah kebenaran yang, kemudian digulirkan berulang-ulang dan akhirnya diteruskan pula oleh para penganut yang masih baru dalam Islam, bahkan juga oleh mereka yang berasal dari iman diluar Islam.

Ini adalah sebuah dokumen (yang kami harap bisa dikembangkan dan diperluas seiring dengan bertambahnya waktu), yang mengekspos beberapa dari permainan-permainan mereka, dan menolong para pencari kebenaran untuk menemukan jalan mereka sendiri ditengah-tengah banyaknya ketidakjujuran (bahkan seringkali penyesatan) dari klaim-klaim tentang Islam dan sejarahnya.

[Klaim-klaim “pembenaran” Islam yang diluncurkan dengan silat lidah itu, meliputi sejumlah pernyataan-pernyataan berikut:]

“Qur’an hanya dapat dimengerti dalam bahasa Arab”

Game Yang Dipermainkan Muslim:
Qur’an hanya dapat dimengerti dengan baik dalam bahasa Arab. Orang tidak dapat mengkritik Islam jika tidak menguasai bahasa Arab.

Kebenarannya:
Walaupun orang Muslim seringkali menghimbau para pengkritik Islam untuk “membaca Qur’an”, biasanya mereka tidak siap untuk menghadapi apa yang akan terjadi ketika nasehat mereka ditaati. Sebab terjemahan jujur terhadap buku tersuci Islam itu justru umumnya akan membangkitkan opini negatif. Maka yang terjadi kemudian adalah klaim bahwa Qur’an hanya dapat dipahami dalam bahasa Arab.

Dari semua usaha yang secara artifisial mengisolasi Islam dari kritik intelektual, kemungkinan besar inilah yang paling transparan. Sayangnya, bagi orang-orang Muslim yang berusaha mendapatkan keyakinan dari bagian-bagian Qur’an dan Sunnah yang memalukan, taktik murahan ini mengabaikan apapun yang tidak mereka sepakati, sementara harga yang harus dibayar sangat mahal oleh karena Islam tidak dapat dilindungi dengan cara demikian tanpa mengorbankan klaimnya sebagai agama yang universal.

Pertama, secara fundamental (yang menjadi Rumus Besi) bahwa siapapun orangnya, dia tidak mungkin dapat mempelajari suatu bahasa yang tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa yang dipahaminya! Jadi, para apologis yang bersikeras bahwa “orang harus belajar bahasa Arab” terlebih dahulu untuk memahami Qur’an, sebenarnya sedang melakukan kesalahan logika. Apakah bahasa Arab dalam Qur’an dapat diterjemahkan (maka tidak perlu belajar bahasa Arab) atau tidak (sehingga bahasa itu tidak akan pernah dapat dipelajari oleh mereka yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab).

Marilah kita bersikap skeptis. Sementara tiap bahasa memiliki nuansa-nuansanya sendiri, bagaimana bahasa Arab bisa menjadi satu-satunya bahasa dengan kata-kata dan ungkapan yang secara literal tidak bisa diterjemahkan? Lebih penting lagi, mengapa dalam dunia ini, Allah memilih untuk mengkomunikasikan satu-satunya agamaNya yang benar bagi semua orang, hanya dalam bahasa yang tidak bisa dimengerti oleh semua orang? Bahkan mayoritas orang Muslim dan imam-imam mereka sendiri tidak bisa berbicara lumayan dalam bahasa Arab? .

Bahkan yang lebih mencurigakan lagi adalah, bahwa “penemuan alasan linguistik” yang ajaib ini baru terjadi disaat-saat belakangan ini ketika gaung penolakan terhadap praktik-praktik Islam dianggap tidak bisa diterima lagi. Dan ini berjalan terus hingga terjadi bentrokan besar dengan liberalisme Barat baru-baru ini. Kenyataannya, argumen yang disembunyikan serta makna alternatif yang menyudutkan ayat-ayat Quran yang tidak menguntungkan (seperti membenarkan perbudakan, status inferior para wanita, kerakusan seks, perang suci, pemukulan isteri, dan diskriminasi religius), justru sesuai dengan tingkat keprihatinan para sarjana modern terhadap ayat-ayat Quran yang memalukan seperti itu!

Tak ada agama dunia yang mengklaim bahwa pengetahuan akan satu bahasa tertentu adalah sebuah hal yang imperatif, guna memahami dirinya dan teks-teks sucinya. Demikian juga tidak diperlukan usaha pada level yang sama untuk memahami pesan yang pas dari sebuah pesan utama. Sebagai contoh adalah ketika memperbandingkan Alkitab yang didistribusikan oleh berbagai kelompok Kristen, dimana pada Quran sangat jarang ditemukan sebuah terjemahan Quran yang tidak memasukkan volume dan komentar dengan catatan kaki yang sangat subyektif, yang diperlukan untuk menjelaskan secara jujur dan terus terang penafsiran-penafsiran yang tidak tepat dari ayat-ayat tersebut.

Sebuah masalah tambahan bagi para apologet adalah bahwa mereka ingin memiliki kedua cara itu. Pada satu sisi mereka mengumumkan bahwa (untuk beberapa alasan yang aneh) “kitab yang sempurna” tidak bisa diterjemahkan dan bahwa agama Allah yang sempurna karena itu tidak bisa dipahami oleh kebanyakan manusia, tanpa bantuan para penafsir. Kemudian mereka berpaling dan menyalahkan realitas terorisme Islamik dengan menuduh bahwa Osama bin Laden telah mendapatkan nasehat dari alim ulama yang buruk, menyebabkan ia dan para pengikutnya menjadi “salah memahami” arti sebenarnya dari Agama Damai (dalam cara yang katastropik dan tragis yang bisa dibayangkan).

Tentu saja, ironi lainnya di sini adalah bahwa sebagai seorang Saudi, bahasa ibu Osama bin Laden sendiri serta kebanyakan dari para pemimpin dan tentara persaudaraan Al Qaeda-nya, adalah bahasa Arab, disamping mereka semua adalah orang-orang Muslim yang saleh. Kenyataannya, banyak kritikan terhadap Islam sendiri berasal dari para pembicara Arab – sebuah fakta yang seringkali diabaikan oleh para apologis, yang hanya menemukan kecakapan linguistik Arab yang relevan, ketika mereka justru ada kekurangannya di situ.

Pada titik ini, hanya ada satu kesempatan untuk meloloskan diri bagi para apologis yang tengah terkepung – klaim yang lemah bahwa Quran hanya bisa dipahami dalam bahasa Arab klasik, atau sebuah dialek Quraish yang tidak dikenal yang sudah tidak lagi dipakai selama kurun waktu seribu tahun, dan hanya dikenal oleh beberapa ratus orang yang hidup hari ini (umumnya para sarjana Wahabbi, dan yang cukup ironis – dituduh bahwa mereka menafsirkan Quran “terlalu literal”).

Sungguh tidak sulit untuk melihat melalui permainan anak-anak ini, khususnya sejak aturan yang diterapkan adalah hanya untuk memfitnah dan bukan untuk memberikan nasehat. Para apologis tidak pernah mengklaim bahwa bahasa Arab adalah sebuah penghalang untuk memahami Islam saat mereka menyanjung agama itu, tak peduli seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki oleh mereka yang lebih suka menawarkan pujian pada Islam daripada mencelanya (ingat bahwa Quran mengatakan berulangkali bahwa ia ditulis dalam bahasa Arab yang lurus/terang/jelas/ memudahkan pemahaman, Quran 12:2; 26:195; 43:3). Mereka juga tidak sanggup mengkualifikasikan klaim bahwa “Islam adalah agama yang paling cepat pertumbuhannya”, sementara pada saat yang sama ada keberatan bahwa orang-orang yang berpaling pada Islam (atau kebanyakan dari orang-orang Muslim yang ada), tidak memahami Islam oleh karena mereka tidak bisa membaca Quran dalam bahasa Arab.

Sudahlah jelas bahwa alasan utama untuk mitos yang tidak logis ini adalah, untuk pertama kalinya era informasi menyebabkan sejarah maupun teks-teks secara lengkap dari agama Islam bisa dimengerti oleh pendengar yang lebih luas, dan hal ini menimbulkan perasaan malu yang sangat besar dalam diri para sarjana Muslim maupun pengikut mereka. Karena itu mereka berpura-pura, dengan strategi bahwa arti yang berbeda yang ada dalam bahasa Arab dimaksudkan untuk meyakinkan diri sendiri. Mereka lakukan ini untuk menyelamatkan muka mereka dari orang-orang yang mengkritik Islam.

Sumber: TheReligionofPeace.com